Fast Track atau Langsung Kerja? Sebuah keputusan yang sulit untuk diambil ketika pertama kali aku memutuskan pada tahun 2021 yang lalu. Ada yang bilang lebih baik kerja dahulu, baru kemudian lanjut S2. Ada pula yang bilang mending langsung S2 aja, biar lonjakan karirnya bagus nanti. Manakah yang benar? Manakah yang harus kupilih? Di tulisanku ini, aku mau membagikan sudut pandangku terkait keputusan untuk Fast Track (lanjut S2) atau langsung kerja.
Fast Track sendiri adalah program percepatan kuliah yang bisa diikuti oleh mahasiswa untuk meraih gelar Sarjana dan Magister hanya dalam 5 tahun perkuliahan. Artinya, kita bisa meraih gelar Magister hanya dalam satu tahun saja. Kok bisa satu tahun? Iyaa, soalnya satu tahunnya lagi tercover oleh 1 tahun perkuliahan yang overlap dengan tingkat akhir (sambil mengerjakan Tugas Akhir, sambil kuliah S2). Posisi aku sendiri adalah mahasiswa Sarjana Teknik Informatika (IF) angkatan 2018 yang mengikuti program Fast Track ini sebagai mahasiswa Magister angkatan 2022 yang lulus pada tahun ini, tahun 2023. Aku tidak akan berbicara panjang lebar tentang Fast Track di ITB seperti apa karena selengkapnya bisa dibaca di sini.
Mengapa Fast Track?
Pertanyaan yang seringkali orang tanyakan kepadaku. Aku sudah menyiapkan beberapa statement yang menjadi alasanku mengapa memilih Fast Track in the 1st place. Aku membagi alasan Fast Track-ku ke dalam dua sudut pandang, yaitu secara internal dan eksternal.
Secara internal, terdapat lima faktor yang mendorongku untuk mengikuti program Fast Track.
Masih merasa kurang dengan Ilmu di S1
Sebelum masuk ke IF, cita-citaku hanya satu, yaitu menjadi Programmer atau Software Engineer. Namun, setelah menjajaki dunia perkuliahan Informatika selama 3 tahun, aku baru menyadari betapa luasnya dunia Informatika dan aku baru mengetahui 1 dari sekian banyak hal yang bisa dieksplor. Aku menyukai semua field yang ada di IF, mulai dari Data Science, Web Development, Mobile Development, System Engineer, sampai Artificial Intelligence (intinya aku naksir semua mata kuliah di IF deh hehehe), tapi sayang tidak ada satupun bidang yang mendalam. Dari semua pilihan bidang tersebut, salah satu mata kuliah yang menurutku menarik kala itu adalah IF3141 Sistem Informasi, sebuah mata kuliah yang rupanya combine all in one seluruh interest di atas namun pendekatannya lebih high level dan dari sisi bisnis. Maka dari itu, aku memilih untuk memperdalam SI ini dengan Fast Track S2 IF di opsi Sistem Informasi.
Ingin spesialisasi pada bidang tertentu
Minatku begitu luas hingga aku bingung dalam menentukan field mana yang kupilih. Sampai akhirnya aku menemukan field yang aku baru tahu exist di IF dan bisa mengcover semua interest-ku, yaitu Analyst dan Product Manager (ranah STI). Saking banyaknya field yang kusukai, aku pun menilai diriku adalah seseorang yang generalist. TAPI, temanku pernah berkata bahwa bagaimanapun itu aku harus punya spesialisasi tertentu, dan akhirnya aku menemukan bahwa aku bisa spesialisasi di Sistem Informasi yang mana itu mengcover sisi generalist-ku di IF dahulu.
Meningkatkan value diri
Seperti halnya stats dari sebuah hero atau character dimana setiap orang bebas memilih hero atau bahkan create their own hero sesuai dengan preferensi mereka. Demikian pula aku menemukan stats yang cocok untuk diriku. Memang aku tidak begitu jago dalam perihal engineer seperti para spesialis engineer lainnya, akan tetapi aku bisa meningkatkan stats-ku di ranah lain, yaitu analyst. Dengan demikian, stats diri yang kumau adalah memiliki strength both in engineering and analyst. Sepertinya jarang ada yang mau memaksimalkan strength di kedua hal tersebut dan aku berminat untuk mengembangkan kedua ranah ini. Sisi engineering sudah ku dapatkan di program studi IF dan saatnya aku meningkatkan sisi analyst ku dengan mengambil S2 opsi SI. Itulah value yang mau aku tingkatkan.
Investasi untuk karir jangka panjang
Ayahku pernah berkata bahwa ada jabatan-jabatan tertentu yang membutuhkan S2. Kedua kakakku juga berkata demikian. Mereka sendiri mengakui bahwa ada saatnya S2 ini akan dibutuhkan sehingga itu menjadi dasar mengapa banyak orang yang sudah 5+ pengalaman kerja disekolahkan kembali dan dibiayai oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Rupanya memang ada suatu jabatan yang sometime S2 ini diperlukan. Karena mereka sudah berpengalaman di dunia kerja, maka aku pun mempercayai apa yang mereka katakan. Disini, aku melihat bahwa S2 bisa menjadi investasi jangka panjang, yaitu investasi yang manfaatnya tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat, melainkan jangka 5-10 tahun ke depan. Oleh karena itu, harapanku adalah ketika saatnya tiba, aku sudah siap dengan gelar S2 ketika ada jabatan yang required S2 (Aminnn).
Memperluas koneksi
Of course! Aku sudah berekspektasi bahwa di S2 nanti aku akan bertemu orang dengan beranekaragam background yang bisa membuatku kenal banyak sekali orang dari berbagai perusahaan, latar belakang, bahkan bertemu yang sudah berkeluarga sekalipun. Dengan demikian, aku percaya bahwa S2 ini bisa memperluas koneksiku tidak terbatas pada lingkup perkuliahan, tetapi juga dunia kerja nanti.
Dari sudut pandang eksternal, aku membaginya ke dalam beberapa alasan sebagai berikut.
S2 gratis di PTN ternama ITB
Dari awal aku mendengar fast track saja, tentu saja biaya S2 akan terpotong 50% karena kuliah S2 yang awalnya 2 tahun menjadi 1 tahun saja. SAMPAI pada akhirnya ketika Fast Track Talk pertama tahun 2021, mataku terbukakan! Rupanya sebagai mahasiswa Fast Track ITB, kita mendapatkan chance untuk mendapatkan beasiswa 100% selama 1 tahun di S2. Jadi bayangkan saja, biaya kuliah S2 yang awalnya perlu 54 juta, berkurang menjadi 27 juta, DAN berkurang lagi menjadi 0 rupiah! Sungguh awalnya aku kaget tapi benar itu adanya. Apalagi S2 nya di ITB. Ayahku pernah berkata, “Dulu Papi mau masuk ITB aja susah banget, S1 gagal, S2 juga gagal masuk. Nah sekarang kamu punya kesempatan itu, kesempatan yang dulu Papi sendiri gadapet itu, tanpa tes pula”. Disitu aku pun termenung dan didukung dengan beasiswa Fast Track tersebut, maka aku pun terdorong untuk ambil Fast Track S2 di ITB.
S1 sudah menjadi standar dan perlu ada difference
Ayahku sendiri pernah berkata bahwa S1 zaman sekarang sama seperti SMA di zaman dahulu, menjadi standar baku perusahaan untuk menghire orang dalam bekerja. Zaman dahulu S1 masih special karena masih sedikit lulusan S1 kala itu. Namun untuk sekarang, dimana-mana kita bisa melihat lulusan S1 sudah menjadi standar. Oleh karena itu, diperlukan suatu difference yang bisa menonjolkan value-ku, salah satunya adalah dengan mengambil spesialisasi tertentu via S2.
Dorongan dari keluarga
Orang tuaku terus terang selalu membujuk kami anak-anaknya agar keilmuan yang kami dapatkan tidak sebatas dari S1 saja. Diperlukan suatu pembeda antara kami dengan orang-orang lain yang salah satunya adalah lewat spesialisasi. Dalam kasus nyata, spesialisasi ini memang tidak harus dilakukan melalui S2, bisa saja dengan sertifikasi, mengikuti course, dan sebagainya. Karena bola yang ada di depan mataku adalah S2, maka bola S2 inilah yang kumainkan.
Terinspirasi dari kakak mentor magang
Ketika aku kerja praktek di salah satu perusahaan korporat sebagai Product Manager, aku memiliki dua mentor yang menjadi role model bagiku dalam berkarir. Satu mentor adalah mentor yang sudah bekerja lama hingga 8 tahun lebih. Satu mentor adalah mentor lulusan S2. Dari mentor pertama, aku diberitahukan bahwa di dunia IT umumnya ada dua profesi besar yang bisa ditempuh, yaitu sebagai Engineer atau Analyst. Di situ aku diberitahu bahwa profesi analyst cukup jarang dan beliau melihat ada peluang bagiku untuk menjadi Analyst. Sedangkan mentor keduaku mencerminkan perilaku dan pola pikirnya yang mencerminkan kemampuan analisis yang menurutku menarik berdasarkan hasil studinya dahulu. Dua evidence itu mendorongku untuk mengambil S2 dan bercita-cita untuk menjadi Analyst (semoga diperkenankan oleh Tuhan, Aminn).
Concern dalam Memilih Fast Track
Harusnya dengan alasan-alasan diatas sudah cukup bukan untukku lanjut Fast Track? Oh tentu saja tidak! Sama seperti halnya Analisis Solusi dalam pengerjaan TA / Tesis, hal tersebut juga berlaku dalam memilih Fast Track atau bekerja. Perlu dua sudut pandang yang berbeda agar memperoleh pemahaman yang lebih luas. Di tulisanku ini, aku langsung saja jump ke beberapa concern yang pernah muncul di dalam benakku ketika mau lanjut Fast Track dan memang concern ini benar adanya. Concern yang kupikirkan adalah sebagai berikut.
Fresh Graduate antara S1 dan S2 tidak berbeda dalam first full time job
Ayahku pernah memberitahuku bahwa ketika lulus nanti, tidak perlu kaget apabila kesulitan dalam mencari pekerjaan sama seperti fresh graduate dari S1. Hal ini didasari karena statusnya yang masih fresh graduate, belum memiliki pengalaman full time sebelumnya (which is berbeda dengan pengalaman magang). Aku selalu diingatkan untuk terus berjuang dalam mencari pekerjaan nanti dan percaya bahwa pekerjaan itu sifatnya cocok-cocokan, jadi akan ada banyak uncertainty yang terjadi dalam proses pencarian pekerjaan tersebut, berserah kepada Tuhan. Namun, Ayahku juga berpesan agar mencoba mencari pekerjaan-pekerjaan yang memang entry levelnya dimulai dari S2. Aku melihat memang di Indonesia sendiri relatif jarang ada yang entry levenya dimulai dari S2. Akan tetapi, kalau kumelihat di perusahaan luar negeri, ternyata ada beberapa role yang entry levelnya dimulai dari S2, salah satunya adalah ranah pekerjaan yang bersinggungan dengan Research & Development, atau yang berkaitan dengan para pemikir (dalam hal ini adalah Analyst)
Ketinggalan dengan teman-teman angkatan yang sudah bekerja 1 tahun lebih awal
Kalau boleh jujur, ini adalah pergumulan yang setiap anak fast track pasti pernah rasakan. Bagaimana tidak? Teman sendiri sudah berpenghasilan 100 juta dalam 1 tahun terakhir, sedangkan aku masih berkuliah disini? Teman sendiri sudah punya pengalaman 1 tahun, tetapi aku belum berpengalaman di industri sama sekali? Pergumulan ini terus bergejolak sampai akhirnya aku bertemu dengan para mahasiswa S2 yang memilih untuk studi lanjut setelah 3-4 tahun bekerja. Alasan mereka cukup menghiburku dan membuatku semangat, yaitu S2 sebagai investasi yang berharga dan sarana untuk meningkatkan value diri yang mungkin tidak bisa diukur pakai uang, akan tetapi itu berharga. Mereka mendukung keputusanku untuk lanjut S2 langsung sehingga hal ini yang membuat kepercayaan diriku kembali.
Mending S2 di Luar Negeri daripada di ITB
Sebelum aku memutuskan untuk fast track, aku berkonsultasi dengan salah satu dosen IF bernama Pak Rinaldi. Beliau memiliki kemiripan denganku perihal suka menulis dan mendokumentasikan segala sesuatu dalam hidup (bisa dicek di https://rinaldimunir.wordpress.com/). Ketika aku menanyakan pendapat terkait Fast Track, aku cukup kaget dengan jawabannya. Beliau mengatakan bahwa sebaiknya kuliah S2 di luar negeri saja karena sistem S2 di luar negeri lebih baik dibandingkan di ITB. Sesaat aku pun termenung apakah mau lanjut Fast Track atau tidak di ITB. Tetapi, aku teringat akan prinsip bahwa kesempatan itu hanya datang sekali. Aku melihat bahwa kesempatan fast track ini hanya bisa kuambil di tahun 2021 yang lalu. Memang S2 di ITB tidak sebagus di LN, akan tetapi apabila melihat seluruh benefit yang bisa didapatkan di ITB (apalagi dengan S2 gratis di PTN ternama di indonesia), sepertinya it’s worth it for me. So be it! Akhirnya aku lanjut untuk Fast Track di ITB dan Pak Rinaldi pun mendukungku.
You’re on your own!
Karena S2 merupakan pilihan, maka tentu saja teman-teman sebayaku hilang sebagian besar karena mereka semua masuk ke dunia pekerja. Dari 200 orang, hanya 15 orang saja yang lanjut Fast Track. Dari 15 orang tersebut tidak dipungkiri kita memiliki kesibukannya masing-masing satu sama lain. Semua bergerak sendiri-sendiri. Di situlah terpikir, apa iya aku sanggup S2 on my own? Lucunya hidup adalah at the end we still need support from others. Meskipun semua orang sibuk masing-masing, that’s what makes it interesting, isn’t it? At the end of the day, kita punya keluh kesah masing-masing satu sama lain dan akhirnya kita bisa bersatu satu sama lain, se-penderitaan, dan seperjuangan untuk menyelesaikan S2 ini sebagaimana kita memulainya. Tidak terbatas pada sesama Fast Track, tetapi juga mahasiswa S2 lainnya. Bahkan, aku pun semakin dengan teman-teman seper bimbinganku (sebut saja Patrick, Vhydie, dan Byan yang menjadi partner Tesis selama 1 tahun terakhir). Pada akhirnya kita pun berjuang bersama deh.
Apa yang Kudapatkan setelah 1 tahun S2?
Meskipun aku memiliki concern-concern tersebut, look at the bright side! Rupanya banyak hal yang kudapatkan selama di S2 yang tidak ku-expect dan jauh lebih berharga melebihi target-target yang telah kuset di awal.
Terlibat dalam penelitian dosen ITB
Menurutku ini adalah hal yang jarang mahasiswa S1 ketahui, bahwa kita bisa lho terlibat dalam proyekan dengan dosen ITB (dan tentu saja ada cuannya!). Bekerja sama dengan dosen merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Bagaimana tidak? Yang awalnya hanya sebatas relasi dosen-mahasiswa bisa melebur menjadi partner kerja. Asli deh, ada vibe yang berbeda ketika proyekan dengan dosen dan somehow kita bisa saling memahami satu sama lain (bagaimana lika-liku menjadi dosen) dan menyadari bahwa dosen pun sama seperti mahasiswa, pernah mengeluh dan bisa deadliner juga hehehe. Worth it untuk dicoba sih, selama terbuka untuk setiap kesempatan yang ada.
Berinteraksi dengan para mahasiswa S3
Mengambil opsi Sistem Informasi dengan dosbing dari SI membuka kesempatan bagiku untuk bertemu dengan anak-anak S3 dari Lab SI. Awalnya sih hanya untuk proyekan bareng saja tanpa mengetahui bahwa mereka adalah dosen-dosen di universitas lain D:, cukup terkejut ketika mengetahui fakta tersebut. Tetapi jujur, kehidupan Tesisku banyak terbantu oleh para mahasiswa S3 ini (termasuk conference sendiri merupakan buah-buah dorongan dari mereka dan bagaimana Tesisku bisa selesai tepat waktu juga berkat bantuan dari mereka).
Berteman dengan orang-orang yang sudah bekerja 3-8 tahun
S2 menurutku bukan sekadar belajar, nugas, pulang, and repeat. Tetapi ada pengalaman tidak ternilai yang terdapat pada interaksi dengan para mahasiswa S2 dari berbagai latar belakang dan pengalaman kerja. Ada yang dulunya Dokter terus kuliah S2 Informatika, ada yang dulunya Perikanan, dan ada yang backgroundnya pendidikan. Ada pula yang sudah menikah dan mempunyai anak. Obrolan dengan teman-teman sebaya tentu saja berbeda dengan obrolan dengan para mahasiswa S2. Tapi hal ini yang membuat perkuliahan di S2 menjadi indah. Adanya keterbukaan kepada sesama mahasiswa S2 membuatku mendapatkan banyak pengetahuan di luar buku, khususnya tentang kehidupan dan dunia karir yang menurutku unik-unik satu sama lain dan aku bisa memetik lesson learned-nya. Bertukar sudut pandang dan diskusi menjadi makananku sehari-hari bersama mereka. (ngga juga sih, terkadang kita suka main Mobile Legends juga hehehe). Keseruannya tidak terbatas dalam kuliah saja, tetapi juga sampai main-main seperti gambar di bawah ini.
International experience di Conference
Terdapat kewajiban untuk melakukan publikasi ketika menjadi mahasiswa S2. Publikasi yang dimaksud bisa dalam bentuk Conference atau membuat jurnal penelitian. Ketika aku S2, aku mendapatkan satu kesempatan berharga dan memorable seumur hidupku, yaitu mengikuti international conference di Kuantan, Malaysia. Dengan dukungan dari para mahasiswa S3 di Lab SI, aku bersama keempat rekan S2-ku akhirnya terbang ke Malaysia dan faktanya ini adalah pengalaman pertamaku pergi ke Luar Negeri. Sungguh menarik menginjakkan kaki di negara lain dan merasakan perbedaan culture disana (tidak heran kenapa banyak orang tertarik ikut IISMA). Tidak terbatas pada itu, aku pun bertemu dan berteman dengan orang-orang dari berbagai negara (mulai dari Afrika, Eropa, hingga Amerika). Pengalaman menjadi presenter untuk mempresentasikan penelitian Tesisku adalah suatu achievement terbesar dan tidak terlupakan.
Kemampuan analisis begitu terasah di S2
Awalnya kupikir S2 itu hanya Tugas Akhir iterasi ke-2. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu kawan. Terdapat experience yang berbeda ketika mengikuti perkuliahan S2 dan melakukan pengerjaan Tesis. Satu perbedaan signifikan antara S1 dan S2 ada pada fokus / outcomenya. Ketika S1, tujuan utamanya adalah kita memahami sesuatu yang diajarkan dan menerapkannya untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi, fokus utama di S2 adalah kita menganalisis suatu fenomena yang terjadi berbekal pengalaman yang kita sudah miliki di S1.
Fenomena ini umumnya ada dalam bentuk improvement dari suatu penelitian yang awalnya kurang baik dibuat menjadi lebih baik berdasarkan hasil analisis tersebut. Jadi, tidak heran bahwa di S2 lebih banyak case study ketimbang teorinya. Pengalaman analisis ini berpuncak pada pengerjaan Tesis yang kulakukan selama 1 tahun terakhir. Sungguh pengalaman yang begitu berharga, dimana aku bisa memposisikan kebiasaan overthinking-ku untuk kucurahkan pada analisis pada pengerjaan Tesis :D. Tentu saja pola pikir dan pendekatan di S2 ini aku merasa match dengan apa yang diajarkan di dunia consulting ketika aku mengikuti salah satu workshop mereka.
Menjangkau orang-orang 1-4 tahun lebih muda di bawahku
Secara alamiah, aku lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang yang lebih muda dariku. Somehow terdapat transfer energi yang terjadi berinteraksi dengan orang yang lebih muda (jiwanya ikut menjadi jiwa muda gitu ehehe). Dan yang kusenang adalah, aku dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan para mahasiswa 1-4 tahun lebih mudah di bawahku (kalau pas S1 maksimal 1-2 tahun saja). Meskipun bisa dihitung pakai jari, tetapi bisa menjangkau beberapa dari mereka saja sudah cukup bagiku. Mengikuti update cerita-cerita yang dialami adik tingkat membuatku nostalgia dengan pengalaman ketika S1 dulu dan terdapat semangat muda yang tertular kepadaku.
Pada akhirnya aku bekerja sambil S2 juga
Here is the funny thing about life. At first, aku sudah memutuskan untuk fokus kuliah S2 saja. Tapi kenyataannya aku bekerja di 3 tempat berbeda dalam 1 tahun terakhir😅. Dua pekerjaan sebagai Software Engineer dan satu pekerjaan sebagai IT Consultant. Pada akhirnya, selama semester 9 dan 10 di ITB-ku aku nyambi bekerja juga (meskipun hanya sebagai part time). Tetapi setidaknya keduanya memberikan pengalaman berhargaku (sayang ya part time != full time, jadi hitungannya tetep fresh graduate :”). Tapi terlepas dari itu, selama S2 ini kemampuan engineering dan analyst-ku terasah dengan sangat baik dari dunia kerja maupun dunia S2 itu sendiri.
Kesimpulan
In the end, the most important thing to consider whether Fast Track or Langsung Kerja adalah:
YOUR PURPOSE AND YOUR GOALS!
Apa yang kalian cari di S2? Pertanyaan yang sama juga berlaku ketika kalian memilih kerja. Apabila kalian lebih terdorong untuk mencari pengalaman kerja secepat mungkin, Langsung kerja menjadi keputusan yang bijak menurutku. Tetapi apabila kalian terdorong untuk belajar lebih untuk meningkatkan value kalian dan tertarik ke pekerjaan seputar Research and Development, S2 bisa menjadi pilihan yang tepat buatmu.
Ingat, jangan sampai kalian S2 cuman karena ikut-ikutan teman. Karena percayalah, keputusan untuk lanjut S2 tidak semudah kalian memutuskan untuk S1, karena S2 adalah pilihan hidup yang menurutku besar dampaknya, seperti kalian memilih your first company aja. S2 is not for the faint hearted. BUTUH motivasi dan tujuan yang kuat supaya bisa bertahan dalam perkuliahan S2. Ingat S2 itu pilihan, bukan kewajiban. Pada akhirnya, aku percaya pilihan untuk S2 atau Langsung Kerja sama-sama baik. Semua ada kelebihan dan kekurangan. Semua bergantung kepada kondisi dan tujuan kalian lebih match ke yang mana. I believe everyone has their own story and motivation. Discover it by yourself!
Terima kasih sudah membaca. Apabila mau diskusi lebih lanjut atau punya pandangan lain, boleh banget drop comment di bawah atau follow Instagramku di @michaellhans .
Akhir kata, selamat memilih! It’s your choice guys!
Bandung, 11 Agustus 2023
Michael Hans
Sarjana Teknik Informatika 2018
Magister Informatika Sistem Informasi 2022