Friday, August 11, 2023

Fast Track atau Langsung Kerja? It’s your Choice!

Gambar 1. Three Musketeers (Hans, Patrick, Vhydie)

Fast Track atau Langsung Kerja? Sebuah keputusan yang sulit untuk diambil ketika pertama kali aku memutuskan pada tahun 2021 yang lalu. Ada yang bilang lebih baik kerja dahulu, baru kemudian lanjut S2. Ada pula yang bilang mending langsung S2 aja, biar lonjakan karirnya bagus nanti. Manakah yang benar? Manakah yang harus kupilih? Di tulisanku ini, aku mau membagikan sudut pandangku terkait keputusan untuk Fast Track (lanjut S2) atau langsung kerja.


Fast Track sendiri adalah program percepatan kuliah yang bisa diikuti oleh mahasiswa untuk meraih gelar Sarjana dan Magister hanya dalam 5 tahun perkuliahan. Artinya, kita bisa meraih gelar Magister hanya dalam satu tahun saja. Kok bisa satu tahun? Iyaa, soalnya satu tahunnya lagi tercover oleh 1 tahun perkuliahan yang overlap dengan tingkat akhir (sambil mengerjakan Tugas Akhir, sambil kuliah S2). Posisi aku sendiri adalah mahasiswa Sarjana Teknik Informatika (IF) angkatan 2018 yang mengikuti program Fast Track ini sebagai mahasiswa Magister angkatan 2022 yang lulus pada tahun ini, tahun 2023. Aku tidak akan berbicara panjang lebar tentang Fast Track di ITB seperti apa karena selengkapnya bisa dibaca di sini


Mengapa Fast Track?

Pertanyaan yang seringkali orang tanyakan kepadaku. Aku sudah menyiapkan beberapa statement yang menjadi alasanku mengapa memilih Fast Track in the 1st place. Aku membagi alasan Fast Track-ku ke dalam dua sudut pandang, yaitu secara internal dan eksternal.


Secara internal, terdapat lima faktor yang mendorongku untuk mengikuti program Fast Track.

  1. Masih merasa kurang dengan Ilmu di S1

Sebelum masuk ke IF, cita-citaku hanya satu, yaitu menjadi Programmer atau Software Engineer. Namun, setelah menjajaki dunia perkuliahan Informatika selama 3 tahun, aku baru menyadari betapa luasnya dunia Informatika dan aku baru mengetahui 1 dari sekian banyak hal yang bisa dieksplor. Aku menyukai semua field yang ada di IF, mulai dari Data Science, Web Development, Mobile Development, System Engineer, sampai Artificial Intelligence (intinya aku naksir semua mata kuliah di IF deh hehehe), tapi sayang tidak ada satupun bidang yang mendalam. Dari semua pilihan bidang tersebut, salah satu mata kuliah yang menurutku menarik kala itu adalah IF3141 Sistem Informasi, sebuah mata kuliah yang rupanya combine all in one seluruh interest di atas namun pendekatannya lebih high level dan dari sisi bisnis. Maka dari itu, aku memilih untuk memperdalam SI ini dengan Fast Track S2 IF di opsi Sistem Informasi.


  1. Ingin spesialisasi pada bidang tertentu

Minatku begitu luas hingga aku bingung dalam menentukan field mana yang kupilih. Sampai akhirnya aku menemukan field yang aku baru tahu exist di IF dan bisa mengcover semua interest-ku, yaitu Analyst dan Product Manager (ranah STI). Saking banyaknya field yang kusukai, aku pun menilai diriku adalah seseorang yang generalist. TAPI, temanku pernah berkata bahwa bagaimanapun itu aku harus punya spesialisasi tertentu, dan akhirnya aku menemukan bahwa aku bisa spesialisasi di Sistem Informasi yang mana itu mengcover sisi generalist-ku di IF dahulu.


  1. Meningkatkan value diri

Seperti halnya stats dari sebuah hero atau character dimana setiap orang bebas memilih hero atau bahkan create their own hero sesuai dengan preferensi mereka. Demikian pula aku menemukan stats yang cocok untuk diriku. Memang aku tidak begitu jago dalam perihal engineer seperti para spesialis engineer lainnya, akan tetapi aku bisa meningkatkan stats-ku di ranah lain, yaitu analyst. Dengan demikian, stats diri yang kumau adalah memiliki strength both in engineering and analyst. Sepertinya jarang ada yang mau memaksimalkan strength di kedua hal tersebut dan aku berminat untuk mengembangkan kedua ranah ini. Sisi engineering sudah ku dapatkan di program studi IF dan saatnya aku meningkatkan sisi analyst ku dengan mengambil S2 opsi SI. Itulah value yang mau aku tingkatkan.


  1. Investasi untuk karir jangka panjang

Ayahku pernah berkata bahwa ada jabatan-jabatan tertentu yang membutuhkan S2. Kedua kakakku juga berkata demikian. Mereka sendiri mengakui bahwa ada saatnya S2 ini akan dibutuhkan sehingga itu menjadi dasar mengapa banyak orang yang sudah 5+ pengalaman kerja disekolahkan kembali dan dibiayai oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Rupanya memang ada suatu jabatan yang sometime S2 ini diperlukan. Karena mereka sudah berpengalaman di dunia kerja, maka aku pun mempercayai apa yang mereka katakan. Disini, aku melihat bahwa S2 bisa menjadi investasi jangka panjang, yaitu investasi yang manfaatnya tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat, melainkan jangka 5-10 tahun ke depan. Oleh karena itu, harapanku adalah ketika saatnya tiba, aku sudah siap dengan gelar S2 ketika ada jabatan yang required S2 (Aminnn).


  1. Memperluas koneksi

Of course! Aku sudah berekspektasi bahwa di S2 nanti aku akan bertemu orang dengan beranekaragam background yang bisa membuatku kenal banyak sekali orang dari berbagai perusahaan, latar belakang, bahkan bertemu yang sudah berkeluarga sekalipun. Dengan demikian, aku percaya bahwa S2 ini bisa memperluas koneksiku tidak terbatas pada lingkup perkuliahan, tetapi juga dunia kerja nanti. 


Dari sudut pandang eksternal, aku membaginya ke dalam beberapa alasan sebagai berikut.

  1. S2 gratis di PTN ternama ITB

Dari awal aku mendengar fast track saja, tentu saja biaya S2 akan terpotong 50% karena kuliah S2 yang awalnya 2 tahun menjadi 1 tahun saja. SAMPAI pada akhirnya ketika Fast Track Talk pertama tahun 2021, mataku terbukakan! Rupanya sebagai mahasiswa Fast Track ITB, kita mendapatkan chance untuk mendapatkan beasiswa 100% selama 1 tahun di S2. Jadi bayangkan saja, biaya kuliah S2 yang awalnya perlu 54 juta, berkurang menjadi 27 juta, DAN berkurang lagi menjadi 0 rupiah! Sungguh awalnya aku kaget tapi benar itu adanya. Apalagi S2 nya di ITB. Ayahku pernah berkata, “Dulu Papi mau masuk ITB aja susah banget, S1 gagal, S2 juga gagal masuk. Nah sekarang kamu punya kesempatan itu, kesempatan yang dulu Papi sendiri gadapet itu, tanpa tes pula”. Disitu aku pun termenung dan didukung dengan beasiswa Fast Track tersebut, maka aku pun terdorong untuk ambil Fast Track S2 di ITB.


  1. S1 sudah menjadi standar dan perlu ada difference

Ayahku sendiri pernah berkata bahwa S1 zaman sekarang sama seperti SMA di zaman dahulu, menjadi standar baku perusahaan untuk menghire orang dalam bekerja. Zaman dahulu S1 masih special karena masih sedikit lulusan S1 kala itu. Namun untuk sekarang, dimana-mana kita bisa melihat lulusan S1 sudah menjadi standar. Oleh karena itu, diperlukan suatu difference yang bisa menonjolkan value-ku, salah satunya adalah dengan mengambil spesialisasi tertentu via S2.


  1. Dorongan dari keluarga

Orang tuaku terus terang selalu membujuk kami anak-anaknya agar keilmuan yang kami dapatkan tidak sebatas dari S1 saja. Diperlukan suatu pembeda antara kami dengan orang-orang lain yang salah satunya adalah lewat spesialisasi. Dalam kasus nyata, spesialisasi ini memang tidak harus dilakukan melalui S2, bisa saja dengan sertifikasi, mengikuti course, dan sebagainya. Karena bola yang ada di depan mataku adalah S2, maka bola S2 inilah yang kumainkan.


  1. Terinspirasi dari kakak mentor magang

Ketika aku kerja praktek di salah satu perusahaan korporat sebagai Product Manager, aku memiliki dua mentor yang menjadi role model bagiku dalam berkarir. Satu mentor adalah mentor yang sudah bekerja lama hingga 8 tahun lebih. Satu mentor adalah mentor lulusan S2. Dari mentor pertama, aku diberitahukan bahwa di dunia IT umumnya ada dua profesi besar yang bisa ditempuh, yaitu sebagai Engineer atau Analyst. Di situ aku diberitahu bahwa profesi analyst cukup jarang dan beliau melihat ada peluang bagiku untuk menjadi Analyst. Sedangkan mentor keduaku mencerminkan perilaku dan pola pikirnya yang mencerminkan kemampuan analisis yang menurutku menarik berdasarkan hasil studinya dahulu. Dua evidence itu mendorongku untuk mengambil S2 dan bercita-cita untuk menjadi Analyst (semoga diperkenankan oleh Tuhan, Aminn).


Concern dalam Memilih Fast Track

Harusnya dengan alasan-alasan diatas sudah cukup bukan untukku lanjut Fast Track? Oh tentu saja tidak! Sama seperti halnya Analisis Solusi dalam pengerjaan TA / Tesis, hal tersebut juga berlaku dalam memilih Fast Track atau bekerja. Perlu dua sudut pandang yang berbeda agar memperoleh pemahaman yang lebih luas. Di tulisanku ini, aku langsung saja jump ke beberapa concern yang pernah muncul di dalam benakku ketika mau lanjut Fast Track dan memang concern ini benar adanya. Concern yang kupikirkan adalah sebagai berikut.


  1. Fresh Graduate antara S1 dan S2 tidak berbeda dalam first full time job

Ayahku pernah memberitahuku bahwa ketika lulus nanti, tidak perlu kaget apabila kesulitan dalam mencari pekerjaan sama seperti fresh graduate dari S1. Hal ini didasari karena statusnya yang masih fresh graduate, belum memiliki pengalaman full time sebelumnya (which is berbeda dengan pengalaman magang). Aku selalu diingatkan untuk terus berjuang dalam mencari pekerjaan nanti dan percaya bahwa pekerjaan itu sifatnya cocok-cocokan, jadi akan ada banyak uncertainty yang terjadi dalam proses pencarian pekerjaan tersebut, berserah kepada Tuhan. Namun, Ayahku juga berpesan agar mencoba mencari pekerjaan-pekerjaan yang memang entry levelnya dimulai dari S2. Aku melihat memang di Indonesia sendiri relatif jarang ada yang entry levenya dimulai dari S2. Akan tetapi, kalau kumelihat di perusahaan luar negeri, ternyata ada beberapa role yang entry levelnya dimulai dari S2, salah satunya adalah ranah pekerjaan yang bersinggungan dengan Research & Development, atau yang berkaitan dengan para pemikir (dalam hal ini adalah Analyst)


  1. Ketinggalan dengan teman-teman angkatan yang sudah bekerja 1 tahun lebih awal

Kalau boleh jujur, ini adalah pergumulan yang setiap anak fast track pasti pernah rasakan. Bagaimana tidak? Teman sendiri sudah berpenghasilan 100 juta dalam 1 tahun terakhir, sedangkan aku masih berkuliah disini? Teman sendiri sudah punya pengalaman 1 tahun, tetapi aku belum berpengalaman di industri sama sekali? Pergumulan ini terus bergejolak sampai akhirnya aku bertemu dengan para mahasiswa S2 yang memilih untuk studi lanjut setelah 3-4 tahun bekerja. Alasan mereka cukup menghiburku dan membuatku semangat, yaitu S2 sebagai investasi yang berharga dan sarana untuk meningkatkan value diri yang mungkin tidak bisa diukur pakai uang, akan tetapi itu berharga.  Mereka mendukung keputusanku untuk lanjut S2 langsung sehingga hal ini yang membuat kepercayaan diriku kembali.


  1. Mending S2 di Luar Negeri daripada di ITB

Sebelum aku memutuskan untuk fast track, aku berkonsultasi dengan salah satu dosen IF bernama Pak Rinaldi. Beliau memiliki kemiripan denganku perihal suka menulis dan mendokumentasikan segala sesuatu dalam hidup (bisa dicek di https://rinaldimunir.wordpress.com/). Ketika aku menanyakan pendapat terkait Fast Track, aku cukup kaget dengan jawabannya. Beliau mengatakan bahwa sebaiknya kuliah S2 di luar negeri saja karena sistem S2 di luar negeri lebih baik dibandingkan di ITB. Sesaat aku pun termenung apakah mau lanjut Fast Track atau tidak di ITB. Tetapi, aku teringat akan prinsip bahwa kesempatan itu hanya datang sekali. Aku melihat bahwa kesempatan fast track ini hanya bisa kuambil di tahun 2021 yang lalu. Memang S2 di ITB tidak sebagus di LN, akan tetapi apabila melihat seluruh benefit yang bisa didapatkan di ITB (apalagi dengan S2 gratis di PTN ternama di indonesia), sepertinya it’s worth it for me. So be it! Akhirnya aku lanjut untuk Fast Track di ITB dan Pak Rinaldi pun mendukungku.


  1. You’re on your own!

Karena S2 merupakan pilihan, maka tentu saja teman-teman sebayaku hilang sebagian besar karena mereka semua masuk ke dunia pekerja. Dari 200 orang, hanya 15 orang saja yang lanjut Fast Track. Dari 15 orang tersebut tidak dipungkiri kita memiliki kesibukannya masing-masing satu sama lain. Semua bergerak sendiri-sendiri. Di situlah terpikir, apa iya aku sanggup S2 on my own? Lucunya hidup adalah at the end we still need support from others. Meskipun semua orang sibuk masing-masing, that’s what makes it interesting, isn’t it? At the end of the day, kita punya keluh kesah masing-masing satu sama lain dan akhirnya kita bisa bersatu satu sama lain, se-penderitaan, dan seperjuangan untuk menyelesaikan S2 ini sebagaimana kita memulainya. Tidak terbatas pada sesama Fast Track, tetapi juga mahasiswa S2 lainnya. Bahkan, aku pun semakin dengan teman-teman seper bimbinganku (sebut saja Patrick, Vhydie, dan Byan yang menjadi partner Tesis selama 1 tahun terakhir). Pada akhirnya kita pun berjuang bersama deh.


Gambar 2. Fast Track DECRYPT 2018 Photo Shoot at ITB


Apa yang Kudapatkan setelah 1 tahun S2?

Meskipun aku memiliki concern-concern tersebut, look at the bright side! Rupanya banyak hal yang kudapatkan selama di S2 yang tidak ku-expect dan jauh lebih berharga melebihi target-target yang telah kuset di awal.


  1. Terlibat dalam penelitian dosen ITB

Menurutku ini adalah hal yang jarang mahasiswa S1 ketahui, bahwa kita bisa lho terlibat dalam proyekan dengan dosen ITB (dan tentu saja ada cuannya!). Bekerja sama dengan dosen merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Bagaimana tidak? Yang awalnya hanya sebatas relasi dosen-mahasiswa bisa melebur menjadi partner kerja. Asli deh, ada vibe yang berbeda ketika proyekan dengan dosen dan somehow kita bisa saling memahami satu sama lain (bagaimana lika-liku menjadi dosen) dan menyadari bahwa dosen pun sama seperti mahasiswa, pernah mengeluh dan bisa deadliner juga hehehe. Worth it untuk dicoba sih, selama terbuka untuk setiap kesempatan yang ada.


  1. Berinteraksi dengan para mahasiswa S3

Mengambil opsi Sistem Informasi dengan dosbing dari SI membuka kesempatan bagiku untuk bertemu dengan anak-anak S3 dari Lab SI. Awalnya sih hanya untuk proyekan bareng saja tanpa mengetahui bahwa mereka adalah dosen-dosen di universitas lain D:, cukup terkejut ketika mengetahui fakta tersebut. Tetapi jujur, kehidupan Tesisku banyak terbantu oleh para mahasiswa S3 ini (termasuk conference sendiri merupakan buah-buah dorongan dari mereka dan bagaimana Tesisku bisa selesai tepat waktu juga berkat bantuan dari mereka).


  1. Berteman dengan orang-orang yang sudah bekerja 3-8 tahun

S2 menurutku bukan sekadar belajar, nugas, pulang, and repeat. Tetapi ada pengalaman tidak ternilai yang terdapat pada interaksi dengan para mahasiswa S2 dari berbagai latar belakang dan pengalaman kerja. Ada yang dulunya Dokter terus kuliah S2 Informatika, ada yang dulunya Perikanan, dan ada yang backgroundnya pendidikan. Ada pula yang sudah menikah dan mempunyai anak. Obrolan dengan teman-teman sebaya tentu saja berbeda dengan obrolan dengan para mahasiswa S2. Tapi hal ini yang membuat perkuliahan di S2 menjadi indah. Adanya keterbukaan kepada sesama mahasiswa S2 membuatku mendapatkan banyak pengetahuan di luar buku, khususnya tentang kehidupan dan dunia karir yang menurutku unik-unik satu sama lain dan aku bisa memetik lesson learned-nya. Bertukar sudut pandang dan diskusi menjadi makananku sehari-hari bersama mereka. (ngga juga sih, terkadang kita suka main Mobile Legends juga hehehe). Keseruannya tidak terbatas dalam kuliah saja, tetapi juga sampai main-main seperti gambar di bawah ini.


Gambar 3. Camping dengan Mahasiswa S2 di Gunung Putri Lembang


  1. International experience di Conference

Terdapat kewajiban untuk melakukan publikasi ketika menjadi mahasiswa S2. Publikasi yang dimaksud bisa dalam bentuk Conference atau membuat jurnal penelitian. Ketika aku S2, aku mendapatkan satu kesempatan berharga dan memorable seumur hidupku, yaitu mengikuti international conference di Kuantan, Malaysia. Dengan dukungan dari para mahasiswa S3 di Lab SI, aku bersama keempat rekan S2-ku akhirnya terbang ke Malaysia dan faktanya ini adalah pengalaman pertamaku pergi ke Luar Negeri. Sungguh menarik menginjakkan kaki di negara lain dan merasakan perbedaan culture disana (tidak heran kenapa banyak orang tertarik ikut IISMA). Tidak terbatas pada itu, aku pun bertemu dan berteman dengan orang-orang dari berbagai negara (mulai dari Afrika, Eropa, hingga Amerika). Pengalaman menjadi presenter untuk mempresentasikan penelitian Tesisku adalah suatu achievement terbesar dan tidak terlupakan.


Gambar 4. ICSCA 2023 Conference di Kuantan, Malaysia

  1. Kemampuan analisis begitu terasah di S2

Awalnya kupikir S2 itu hanya Tugas Akhir iterasi ke-2. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu kawan. Terdapat experience yang berbeda ketika mengikuti perkuliahan S2 dan melakukan pengerjaan Tesis. Satu perbedaan signifikan antara S1 dan S2 ada pada fokus / outcomenya. Ketika S1, tujuan utamanya adalah kita memahami sesuatu yang diajarkan dan menerapkannya untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi, fokus utama di S2 adalah kita menganalisis suatu fenomena yang terjadi berbekal pengalaman yang kita sudah miliki di S1.


Fenomena ini umumnya ada dalam bentuk improvement dari suatu penelitian yang awalnya kurang baik dibuat menjadi lebih baik berdasarkan hasil analisis tersebut. Jadi, tidak heran bahwa di S2 lebih banyak case study ketimbang teorinya. Pengalaman analisis ini berpuncak pada pengerjaan Tesis yang kulakukan selama 1 tahun terakhir. Sungguh pengalaman yang begitu berharga, dimana aku bisa memposisikan kebiasaan overthinking-ku untuk kucurahkan pada analisis pada pengerjaan Tesis :D. Tentu saja pola pikir dan pendekatan di S2 ini aku merasa match dengan apa yang diajarkan di dunia consulting ketika aku mengikuti salah satu workshop mereka.


  1. Menjangkau orang-orang 1-4 tahun lebih muda di bawahku

Secara alamiah, aku lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang yang lebih muda dariku. Somehow terdapat transfer energi yang terjadi berinteraksi dengan orang yang lebih muda (jiwanya ikut menjadi jiwa muda gitu ehehe). Dan yang kusenang adalah, aku dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan para mahasiswa 1-4 tahun lebih mudah di bawahku (kalau pas S1 maksimal 1-2 tahun saja). Meskipun bisa dihitung pakai jari, tetapi bisa menjangkau beberapa dari mereka saja sudah cukup bagiku. Mengikuti update cerita-cerita yang dialami adik tingkat membuatku nostalgia dengan pengalaman ketika S1 dulu dan terdapat semangat muda yang tertular kepadaku.


  1. Pada akhirnya aku bekerja sambil S2 juga

Here is the funny thing about life. At first, aku sudah memutuskan untuk fokus kuliah S2 saja. Tapi kenyataannya aku bekerja di 3 tempat berbeda dalam 1 tahun terakhir😅. Dua pekerjaan sebagai Software Engineer dan satu pekerjaan sebagai IT Consultant. Pada akhirnya, selama semester 9 dan 10 di ITB-ku aku nyambi bekerja juga (meskipun hanya sebagai part time). Tetapi setidaknya keduanya memberikan pengalaman berhargaku (sayang ya part time != full time, jadi hitungannya tetep fresh graduate :”). Tapi terlepas dari itu, selama S2 ini kemampuan engineering dan analyst-ku terasah dengan sangat baik dari dunia kerja maupun dunia S2 itu sendiri.


Kesimpulan

In the end, the most important thing to consider whether Fast Track or Langsung Kerja adalah:


YOUR PURPOSE AND YOUR GOALS!


Apa yang kalian cari di S2? Pertanyaan yang sama juga berlaku ketika kalian memilih kerja. Apabila kalian lebih terdorong untuk mencari pengalaman kerja secepat mungkin, Langsung kerja menjadi keputusan yang bijak menurutku. Tetapi apabila kalian terdorong untuk belajar lebih untuk meningkatkan value kalian dan tertarik ke pekerjaan seputar Research and Development, S2 bisa menjadi pilihan yang tepat buatmu.


Ingat, jangan sampai kalian S2 cuman karena ikut-ikutan teman. Karena percayalah, keputusan untuk lanjut S2 tidak semudah kalian memutuskan untuk S1, karena S2 adalah pilihan hidup yang menurutku besar dampaknya, seperti kalian memilih your first company aja. S2 is not for the faint hearted. BUTUH motivasi dan tujuan yang kuat supaya bisa bertahan dalam perkuliahan S2. Ingat S2 itu pilihan, bukan kewajiban. Pada akhirnya, aku percaya pilihan untuk S2 atau Langsung Kerja sama-sama baik. Semua ada kelebihan dan kekurangan. Semua bergantung kepada kondisi dan tujuan kalian lebih match ke yang mana. I believe everyone has their own story and motivation. Discover it by yourself!


Terima kasih sudah membaca. Apabila mau diskusi lebih lanjut atau punya pandangan lain, boleh banget drop comment di bawah atau follow Instagramku di @michaellhans .


Akhir kata, selamat memilih! It’s your choice guys!



Bandung, 11 Agustus 2023


Michael Hans

Sarjana Teknik Informatika 2018

Magister Informatika Sistem Informasi 2022


Tuesday, November 15, 2022

Michael Hans: Sebuah Kisah Hidup

Alkisah, hiduplah seorang laki-laki bernama Michael Hans. Beliau sudah mencicipi cukup banyak pengalaman hidup selama 22 tahun hidup di dunia ini (dan akan bertambah banyak seiring bertambahnya umur). Ada banyak fase di dalam hidupnya yang membuat ia senantiasa berpikir bahwa hidup ini penuh ketidakpastian dan sangat dinamis dari yang dibayangkannya. Siapa yang menyangka bahwa Hans yang ketika SD adalah seseorang yang pemalu dan pendiam, pernah menjabat sebagai ketua divisi di beberapa acara / kepanitiaan / organisasi tertentu? Hal tersebut tidak pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa ia sanggup untuk memimpin sesekali di dalam hidupnya, tidak hanya sekedar menjadi pengikut atau follower terhadap orang lain. Sungguh, ada banyak kejadian besar terjadi di dalam hidup Hans selama 22 tahun ini. Mari kita lihat kehidupan Hans per jenjang yang pernah dialaminya.

Dimulai dari awal, Hans adalah anak terakhir dari 3 bersaudara yang dilahirkan di sebuah kota. Bisa dikatakan hidupnya cukup berkecukupan dan semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Sebagai anak bungsu, semua keinginan Hans akan senantiasa terpenuhi oleh kedua orang tuanya maupun kedua kakaknya. Tapi, siapa yang menyangka bahwa kehidupan yang dialami ketika kecil rupanya berdampak kepada kehidupan 10-20 tahun ke depan?

Ketika SD, Hans adalah seseorang yang pemalu dan tidak pernah mengambil inisiatif tertentu. Dalam hal pertemanan pun, rasanya tidak pernah Hans memulai pertemanan lebih awal. Selalu orang lain yang menghampirinya dan berteman dengannya. Perkara belajar? Hans memilih untuk selalu belajar sendiri, tidak memerlukan bantuan orang lain, dan senantiasa melakukan apapun hanya untuk dirinya sendiri. Biasanya teman-temannya yang suka menghampiri dan bertanya kepadanya. Ia merasa masih bisa melakukan semuanya sendiri. Belum waktunya memang untuk berpikir tentang kehidupan dan sudut pandang orang lain. Isi pikiran anak SD tentu masih sangat sederhana bukan?

Lanjut ke jenjang SMP, Hans mulai mengalami fase yang bernama kesepian di dalam hidupnya. Rupanya sifat Hans yang pemalu dan tidak pernah mengambil inisiatif di masa SD berdampak di kehidupan SMP nya, ketika ia selalu menjadi orang terakhir untuk dipilih ketika ada momen tugas kelompok. Ia tumbuh menjadi pribadi yang senantiasa mengalir saja seperti air mengalir tanpa adanya suatu pegangan atau prinsip hidup yang bisa dipegangnya sehari-hari. Kelas 7 SMP adalah masa yang cukup suram baginya. Mengalami perundungan oleh teman-teman sebaya hanya karena wajahnya seperti orang sakau dan kurus ceking adalah pengalaman yang melukai batinnya saat itu. Syukurlah kondisi kelas 8 SMP ternyata berkebalikan drastis dengan kelas 7 ketika ia sudah mulai memahami apa arti pertemanan dan bertemu orang-orang yang mulai suka mengajak bermain satu sama lain. Namun ketika kelas 9, semua kembali seperti kelas 7, dimana Hans terlalu banyak dipengaruhi orang-orang dalam mengambil keputusan tertentu. Bahkan Hans pun pernah menjalin hubungan yang kandas hanya dalam 1 bulan saja. Alasannya sederhana: Hans ini orangnya cuek dan sama sekali tidak peduli dengan keadaan pasangannya sendiri. Dari situlah kita bisa melihat bahwa Hans tumbuh menjadi pribadi yang cuek dan kesepian di masa remaja awalnya.

Dari situlah ia bertekad untuk berubah ketika lanjut ke jenjang SMA. Ketika SMA itu ia bertemu dengan teman-teman SD nya, namun untuk menumbuhkan image yang baru, ia memperkenalkan diri dengan panggilan Hans, sedangkan teman-teman SD nya mengenal dia sebagai Michael atau kerap dipanggil Mike. Di masa SMA pun Hans mengalami struggle yang ternyata lebih besar dari masa SMP. Ketika SMP masih terlalu cuek, di masa SMA ini Hans justru menjadi pribadi yang terlalu memikirkan orang lain. Tujuan awalnya sederhana, he wants to make friends in his teenage life. He doesn't want to do the same mistake as he do in junior high school.

Semua berjalan dengan sangat baik, namun ternyata ada beberapa efek samping yang terjadi. Ia pun mulai menumbuhkan perasaan iri hati dan kekecewaan di dalam hidupnya. Hans paling tidak suka dengan kondisi dimana tiga orang berkumpul tetapi ia diabaikan. Mungkin sifat manja dan selalu ingin dihampiri masih terbawa sampai SMA sehingga Hans dengan sangat mudah berpikir bahwa ia dikucilkan dan eksistensinya tidak berguna bagi orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut menjadi perkara yang sering dipikirkan sehari-hari di masa SMA nya hingga kelas 11 SMA.

Bukan cuman sekadar iri hati, ia juga sering mengalami kekecewaan di dalam hidupnya. Rasa kecewa yang sebenarnya cukup sepele. Teman yang tidak mengajak bermain, teman yang terlihat lebih akrab dengan orang lain dibandingkan dengannya, sampai perasaan dimana muncul seperti "Mengapa orang ini terlihat biasa saja dihadapanku tetapi justru ia begitu excited ketika bertemu teman yang lain?". Kekecewaan juga sering bersumber dari rasa percaya yang dipatahkan karena ekspetasi yang tidak terpenuhi. Ia berpikir bahwa sahabatnya akan melakukan sesuatu yang baik untuknya, tetapi justru yang terjadi sebaliknya. Di masa SMA inilah, Hans belajar terkait pertemanan dibalut dengan perasaan kecewa dan iri hati yang mengganggunya selama masa SMA nya.

Hingga tibalah masa kuliah, ketika ia mulai memasuki umur 18 tahun dan ia menyadari bahwa di perkuliahan itu ternyata he is on his own. Dari sekolahnya, ia adalah satu-satunya murid yang masuk ke fakultas STEI ITB. Mau tidak mau, ia pun harus berjuang sendiri, mulai membentuk pertemanan baru. Di jenjang Perguruan Tinggi, rupanya ada banyak sekali kegiatan dan kepanitiaan yang bisa diambil oleh seorang mahasiswa untuk mengisi waktu dan mengembangkan soft skill-nya di luar perkuliahan. Ia pun iseng untuk mencicipi bagaimana rasanya berkepanitiaan melalui divisi entreprenurship di kepanitiaan tingkat kampus.

Baginya, nama divisi entrepreneurship terlihat keren baginya. Tapi ia tidak menyangka ternyata divisi tersebut fokus dalam penjualan atau berbisnis untuk memenuhi anggaran kepanitiaan. Titik ini adalah salah satu breakpoint yang terjadi di hidupnya, yaitu ketika seorang Hans yang notabene orang yang pendiam dipaksa untuk berjualan nasi kuning setiap harinya selama 1 bulan. Siapa sangka ternyata Hans menjadi best staff entrepreneurship untuk kepanitiaan pertamanya di hidupnya. Dari situ, ia secara tidak langsung berhasil menjalin relasi dengan teman-teman perkuliahannya dan mulai dikenal oleh teman-teman seangkatan. Tidak berhenti disitu, Hans pun mulai berani untuk bersikap seperti apa yang dia mau. Sebut saja untuk kelas Matematika yang isinya 200 orang ia selalu memilih untuk duduk di depan pojok kiri hingga orang-orang mengganggapnya orang yang rajin belajar, padahal ia sendiri selalu menyangkal anggapan tersebut. Tapi pada akhirnya, he is okay with that assumption.

Berlanjut ke tingkat Jurusan, Teknik Informatika ITB, dimana Hans mulai mendapatkan berbagai pengalaman baru yang tidak pernah terbayangkan di dalam hidupnya saat itu. Awalnya ia berpikir bahwa hidupnya di kuliah jurusan hanya seputar kuliah, tugas, dan pulang. Tetapi ternyata ia mendapatkan jauh lebih dari itu. Di jurusan inilah ia mulai bermetamorfosis menjadi kupu-kupu indah. Ia dengan percaya diri mau berkenalan dengan setiap orang di angkatan dan jurusannya dan berhasil menghafal semua nama-nama di angkatannya, IF STI 2018. Ia mulai merasakan betapa serunya bermain dan bersosialisasi dengan orang-orang sehimpunan yang ia sering dapatkan dari kepanitiaan dan organisasi yang diikutinya.

Hingga pada tingkat 3 pun, ia mencoba hal baru, yaitu menjadi seorang leader yang akan memimpin jalannya suatu divisi. Suatu hal yang cukup menantang menurutnya. Bagaimana seseorang yang biasanya mengalir mengikuti arus tiba-tiba bisa menjadi orang yang menggerakkan perahu dengan penuh kendali layaknya pembajak laut? Kadiv pertamanya menjadi suatu hal yang menarik dan batu loncatan ke arah kehidupannya di masa depan. Ia menemukan bahwa bergaul dengan orang adalah sesuatu yang menarik dan indah. Mendapatkan berbagai sudut pandang terhadap suatu hal adalah sesuatu yang berharga di hidupnya. Hal-hal tersebut mengarahkan ia padahal suatu statement: Ia sekarang berharap pada suatu pekerjaan yang bisa melibatkan keilmuannya di Informatika, tetapi juga terkait untuk berurusan dengan orang-orang. And then ia menemukan jawabannya melalui keilmuan Sistem Informasi yang dipelajarinya sejak tingkat 3 hingga lanjut ke S2 untuk opsi Sistem Informasi.

Hans sangat bersyukur atas keputusannya untuk mendalami Sistem Informasi saat itu. Rupanya segala hal yang terjadi di hidupnya seperti sudah dirancang oleh Tuhan bahwa jalan Hans akan ke arah sana. Berawal dari ketertarikan pada mata kuliah IF3141 Sistem Informasi, ia mendapatkan magang sebagai Product Manager. Ketika menjadi PM, ia bertemu dengan mentor yang menggiringnya untuk berpikir luas terkait pekerjaan IT: apakah mau menjadi seorang programmer atau seorang analyst? Dan ia juga bertemu dengan mentor yang ternyata S2 dan mengatakan bahwa ilmu itu adalah sebuah investasi berharga. Tidak dapat dirasakan sekarang, tetapi akan bermanfaat bertahun-tahun kemudian. Setelah mengambil langkah mantap untuk lanjut S2, ada banyak kesempatan yang ia peroleh di perkuliahannya. Mulai dari asisten Sistem Informasi, proyek Sistem Informasi, hingga pekerjaan part-time nya sebagai System Analyst, sebuah role yang pernah dimention oleh mentornya ketika magang dahulu.

Last but not least, in his final year as an undergraduate student, he finally got something that truly change his life 180 degree. Menjadi bagian dari Badan Pengurus Internal HMIF adalah keputusan terbaik di dalam hidupnya selama menjadi mahasiswa. Mengapa? Karena ia bertemu dengan orang-orang hebat yang ternyata bisa memberikan value yang tidak ternilai harganya. Bukan soal akademik, tetapi soal Kehidupan. Menjadi BP hanyalah bagian berkegiatannya saja, tetapi yang paling matters baginya adalah bergaul dan berteman dengan rekan-rekan BP nya. Pengalaman bergaul dengan orang-orang hebat di BP Internal akhirnya memberikan suatu lesson learned yang sangat berharga.

Confidence is the key to do anything we wanted to but we are afraid of it

Dari kata kunci confidence saja, ia berhasil melakukan hal-hal yang sebelumnya ia tidak pernah lakukan. Menjadi speaker di dalam sebuah acara, melakukan orasi wisuda HMIF, and the most important is punya keberanian untuk mengutarakan pendapat dan apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan kepada orang lain.

Dan sekarang, ia sangat senang dengan apa yang ia miliki dan jalani di hidupnya dan senantiasa berharap bahwa hidupnya ke depan akan menjadi lebih baik dan dapat terus mengeksplorasi segala hal yang diinginkan di dalam hidupnya.

Bonus Story

Sebagai bonus story, hidup Hans sebetulnya tidak sekosong itu. Ia pun juga manusia yang tentu saja tertarik kepada lawan jenisnya. Namun, kisah cintanya pun tidak seindah seperti yang orang-orang bayangkan. Setiap kali ia mengejar sosok wanita yang disukainya, hampir selalu diakhiri dengan kekecewaan, entah dari sisi wanita atau dari sisi dia sendiri sebagai laki-laki. Pengalaman penolakan pun pernah dialaminya dan itu rasanya berat sekali baginya untuk menerima kenyataan tersebut. Butuh waktu 3 bulan baginya untuk akhirnya bisa berdamai dan menerima realita hidup yang terjadi.

Dahulu, Hans berpikir bahwa ia sangat membutuhkan pasangan di hidupnya. Ia iri dengan orang-orang di sekitarnya yang terlihat sangat bahagia bersama pacarnya. Ia pun berpikir bahwa memiliki pacar barangkali bisa menjadi solusi baginya untuk lebih bahagia. Ada kalanya ketika Hans terlalu bergantung pada orang yang disukainya hingga ia ternyata berkorban berlebihan hingga merugikan diri sendiri. Disitu ia begitu menggantungkan kebahagiaannya melalui menyenangkan orang lain.

Ternyata masalahnya cuman satu: Hans belum sepenuhnya bahagia dengan dirinya sendiri. Seseorang pernah berkata bahwa buatlah diri bahagia terlebih dahulu sebelum bisa membahagiakan orang lain. Terimalah dirimu apa adanya, uruslah dirimu terlebih dahulu, baru kamu bisa mengurus orang lain. Ia akhirnya sadar bahwa cara berpikirnya salah dan perlu diperbaiki. Setelah mendapatkan wejangan dari orang-orang di sekitarnya, akhirnya ia menyadari bahwa penting untuk bisa take care of himself terlebih dahulu baru bisa take care of his loved ones. Barangkali itu prinsip yang dipegang baginya terkait masalah percintaan. Tuhan memang belum mengizinkan ia untuk having a relationship saat ini, tapi ia percaya akan ada orang yang cocok bagi dirinya untuk menjadi pasangan hidup di masa depan.


Michael Hans