Hallo semuanya! Kembali lagi bersamaku dalam tulisanku yang berjudul "Masa Pandemi: Sebuah Fenomena Unik Tahun 2020". Tulisan pada kali ini sedikit berbeda mengingat biasanya sesuatu yang aku posting adalah pengalamanku dalam menjalani perkuliahan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada tulisanku kali ini, aku bakal memberikan uneg-uneg yang kurasakan selama masa pandemi ini, sebuah fenomena pertama di tahun 2020 dimana seluruh elemen di masyarakat turut merasakan dampaknya.
Aku adalah mahasiswa ITB angkatan 2018, sehingga saat ini aku sedang memasuki semester 5. Sekitar 5 bulan yang lalu, itulah saat pertama kali aku mendapatkan suatu pesan cepat dari ITB yang menyatakan bahwa kampus ITB akan ditutup selama 2 minggu secara penuh. Aku ingat betul pada Minggu, 15 Maret 2020, aku sedang mengerjakan tugas Pemrograman Berorientasi Objek (PBO) di kosan temanku, Fang di Jalan Cisitu Indah waktu itu. Aku sedang menyantap bacang yang baru saja aku beli dari Gereja pada pagi itu. Ketika aku mengingat tanggal tersebut, terdapat banyak fenomena yang tidak lazim yang kurasakan saat ini.
Oke, mari kita kembali ke Jumat, 13 Maret 2020, dimana hari-hariku masih terasa normal saat itu. Paginya, 09.00 WIB, aku sedang melakukan asistensi PBO ke asisten, lalu kemudian aku memotong rambutku di tukang pangkas rambut dekat kosanku di Cisitu. Siangnya, aku mengikuti perkuliahan PBO dari pukul 13.00 - 14.40 WIB, lalu dilanjutkan dengan mengerjakan tugas OS di perpustakaan, mulai dari pukul 15.00 - 20.30 WIB. Wah waktu yang cukup panjang! Lalu dilanjutkan dengan menonton film baru di bioskop Ciwalk saat itu, yaitu "Bloodshot" bersama kawan-kawan setubesanku. Hari itu masih berjalan baikbaik saja, tidak menggunakan masker, menonton bioskop, nongkrong di restoran, dan sebagainya.
Namun ketika hari Minggu, 15 Maret 2020 itu tiba, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi di lingkunganku. Dimulai dari aku mengikuti ibadah di Gereja Katedral Bandung pada pukul 08.00 - 09.00 WIB, aku melihat suasana Gereja semakin sepi karena umat yang datang sedikit. Kemudian disekitarku menggunakan masker dan saat salam damai pun tidak berjabat tangan seperti biasanya. Rasanya aneh. Kemudian aku membeli nasi campur dan bacang di belakang Gereja, lalu menancapkan gas menuju ke Borma Dago untuk membeli kebutuhan sehari-hariku.
Saat di Borma pun, suasananya pun jauh berbeda dari biasanya. Borma Dago pada Minggu pukul 10 pagi sangat penuh seperti malam minggu. Banyak orang memborong kebutuhan pangan dan hidup mereka secara besar-besaran. Syukurnya, aku sendiri kebagian kebutuhan hidupku sendiri. Aku menghabiskan sekitar 300 ribu untuk membeli kebutuhan selama 2 minggu ke depan, mulai dari makanan freezer, telur, roti, buah-buahan, dan sebagainya. Dari siang hari sampe sore hari terlihat normal di kosanku.
Aku mulai mengerjakan PBO bersama Fang di kosannya pada malam hari. Aku ingat betul, disaat aku sedang asik menyantap bacang kesukaanku, tiba-tiba saja muncul pengumuman dari ITB bahwa kampus akan dilockdown mulai dari Senin, 16 Maret 2020 hingga Selasa, 31 Maret 2020. Wah, teman-teman IF di kosan Fang pun ikutan heboh. Junho langsung bergegas untuk pulang ke Tangerang dengan dijemput di pagi harinya, ada rencana temanku Evan untuk pulang ke Surabaya bersama teman-teman Surabayanya, dan berita heboh lainnya dimana banyak temanku yang mendadak memesan tiket pulang ke kampung halaman.
Teman baiku, Fano, pun lebih parah lagi. Ia langsung memesan tiket kereta api pukul 23.00 WIB yang ia pesan pada pukul 19.00 WIB. Rentang waktu yang begitu singkat! Ia pun juga bersiap-siap dengan cepat untuk pergi menuju kereta. Aku pun tiba-tiba di videocall oleh keluargaku secara mendadak. Biasanya aku akan menutup telpon dan mengangkatnya setiba di kos, namun karena keadaan sekarang berbeda, maka aku mengangkatnya di kosan tersebut. Dan ternyata, sampailah pada keputusan aku pulang ke Jakarta menggunakan travel pada pukul 07.00 WIB. Perjalanan pulang juga terasa berbeda karena disarankan menggunakan masker dan protokol kesehatan lainnya, dan akhirnya aku pulang dengan selamat.
Menghadapi Masa Pandemi di Rumah
Tibalah aku di rumah, dengan membawa perlengkapanku selama 2 minggu di rumah. Setelah dijalani, nyatanya liburnya gak 2 minggu dong, tapi ternyata 5 bulan dan seterusnya :< (libur = berada di rumah). Segala sesuatu terpaksa diadakan secara daring. Mahasiswa harus beradaptasi dengan cepat dan sempat mengalami shock karena metode yang berubah drastis dari tatap muka hingga menjadi online. Bukan cuman mahasiswa saja, ternyata dosen juga chaos juga loh. Para dosen juga shock karena harus beradaptasi dari pola pengajaran tatap muka menjadi online. Mereka juga tidak terbiasa ternyata apabila mengajar secara online, metode pengajaran yang menuntut video, dan sebagainya. Banyak banget deh kesalahan teknis dan metode yang tidak teratur yang terjadi pada semester 4 yang lalu.
Mulai dari kuliah, kuis, tugas, hingga Ujian pun diadakan secara online. Masa online ini menuntut kejujuran dan integritas mahasiswa mengingat ujian tidak bisa dipantau secara langsung dan live (ada kemungkinan mahasiswa turut membuka buku atau berlaku curang). Untungnya saja ujian sebagian besar dilakukan secara open book (beberapa ada yang berlaku curang ternyata).
Dua bulan pertama (Maret - Mei) adalah masa-masa aku begitu stress secara mental karena tidak bisa kembali ke kampus dan bertemu dengan teman-temanku. Biasanya setelah kuliah sore, aku dan teman-temanku selalu makan di Jalan Ganesha dan bercengkerama selama satu jam. Sekarang? Semuanya itu harus kurelakan! Aku harus terbiasa dengan metode yang seperti ini. Menahan diri untuk berkumpul bersama-sama mengingat risiko penularan yang tinggi. Ketika aku stress mengerjakan tugas atau mengikuti kuliah yang tidak kumengerti, aku tidak bisa ngobrol-ngobrol dengan teman-temanku karena kondisi online.
Bagiku, berbincang-bincang secara online berbeda jauh dengan bertemu secara langsung. Kalau berbincang secara online, orang-orang yang bisa direach hanyalah teman yang memang sudah dekat dan biasanya kudu janjian dulu kalau online. Janjian ini yang sebetulnya merepotkan, karena setiap orang mempunyai waktunya masing-masing apabila berada di rumah. Apalagi kalau mau ngobrol atau berbicara dengan seorang perempuan? Malah dianggap pedekate kali yaaa, karena janjian buat ngobrol. Kalau rame-rame sih gapapa sih (grup bermain terdiri atas cowo-cewe, tapi ini jarang banget juga). Gimana ga stress gitu gabisa ngobrol-ngobrol seperti biasanya. Aku merasakan benar-benar definisi dari makhluk sosial itu sendiri.
Memasuki bulan Juni sampai sekarang, aku mulai terbiasa dengan keadaan serba online saat ini. Aku pun mulai menyesuaikan diri, tidak terlalu memikirkan akan kestressan yang kurasakan dan mencoba menganggap semuanya ini adalah normal. Aku mengerjakan tugas-tugas seleksi asisten, project website di unitku, dan menjadi panitia ospek jurusan di HMIF ITB. Puji Tuhan, di bulan-bulan inilah aku berasa hidup kembali (khususnya ketika masa ospek jurusan dimulai).
Di ospek jurusan, ini jadi wadahku dan mungkin wadah teman-temanku untuk berinteraksi kembali satu sama lain setelah vakum selama 3 bulan lebih. Tugas wawancara yang diberikan kepada peserta kader menurutku adalah bukan sekadar tugas wajib saja, melainkan tempat bagiku untuk bisa mengekspresikan diriku dan berinteraksi kembali dengan orang lain. Memang sih janjian, cuman ini kan tugas wajib mereka yaa, jadi lebih kayak jaminan bagiku untuk bisa ngobrol juga hihihihi. Terdapat 17 kali sesi wawancara yang kuikuti dan Puji Tuhan, aku benar-benar berasa hidup kembali karena bisa berinteraksi dengan orang lain kembali, mengenal teman-teman baru (adik-adik tingkat baru yang baru masuk jurusan), kembali reconnect dengan teman-teman seangkatan, dan sebagainya. Aku pun juga mengambil tanggung jawab sebagai ketua divisi di salah satu acara di HMIF (semoga berjalan dengan lancar).
Sampai pada akhirnya, saat ini, aku benar-benar sudah beradaptasi dengan keadaan sekarang. Menjalankan segala sesuatu secara online. Gamudah loh, bagiku butuh waktu 3-5 bulan untuk benar-benar bisa beradaptasi dengan normal.
Plus Minus Kehidupan Online
Seperti yang sudah kukatakan, masa pandemi ini menyebabkan segala aktivitas serba dilaksanakan secara online. Butuh juga 3-5 bulan bagiku untuk bisa menerima keadaan ini sepenuhnya dan mengambil hal positif dari keadaan online ini. Berikut ini adalah list plus minus kehidupan online yang kurasakan.
(+) Dampak Positif:
- Segala bentuk pertemuan bisa dilakukan dengan cepat tanpa menguras waktu atau transport (semua dilakukan secara online melalui meeting video call)
- Mendigitalisasi berbagai hal seperti membiasakan pendataan secara online
- Berpikir out of the box. Kegiatan-kegiatan yang harusnya cuman bisa offline, sekarang bisa ditransformasikan menjadi bentuk online. Dulu saja, aku meragukan osjur online, namun setelah diusahakan, wow, outputnya gak kalah bagus kalo offline lho
- Segala bentuk pembelajaran mulai ditransformasikan menjadi bentuk digital
Tatap muka menjadi Google Meet (scheduling)
Penyampaian materi 1 arah dilakukan dalam bentuk video (bayangin kuliah bisa diulang-ulang) - Waktu yang digunakan menjadi lebih efektif dan lebih luas.
Apakah pernah terpikir di benak kita bahwa selama masa pandemi ini, banyak waktu yang bertambah dalam hidup kita? Bayangkan saja, setiap hari, ada waktu transport rata-rata 2-3 jam (apabila terjadi kemacetan, masalah diperjalanan), lalu membeli makan diluar secara langsung (waktu lagi), dan waktu untuk bermain-main seperti nongkrong dsbnya.
Di masa online ini, seluruh waktu diatas menjadi terhapuskan. Aku sendiri jadi lebih menghargai waktu, karena kalau ingin berbincang online / mabar, perlu liat-liat waktu juga sekarang. Jadinya kita punya extra free time juga deh.
- Biaya bengkak di fasilitas penunjang online (khususnya internet dan kuota data)
Ini gaperlu ditanya lagi. Kenyataannya, tidak semua daerah bisa terjangkau oleh internet yang cepat dan serba memadai. Masih banyak daerah yang justru belum terjangkau dengan kecanggihan online ini. Paket data di daerah-daerah terpencil sangat mahal bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Inilah yang menjadi tantangan bagi kita dan pemerintah dalam menunjang keberlangsungan kegiatan secara online. Kuota data meskipun di perkotaan tetap saja mahal karena sering cepat habis akibat berbagai kegiatan dilaksanakan secara online. - Banyaknya acara-acara massal harus dibatalkan (termasuk acara tahunan)
- Sulit untuk berkomunikasi lebih terbuka atau apa adanya seperti papasan langsung (apa-apa harus janjian dan sebagainya)
- Mata menjadi lebih lelah karena menatap layar selama seharian penuh. Meskipun cuman di rumah, tetap saja capek (serasa kerja di luar tapi capek-capek juga ujung-ujungnya)
- Serasa seperti kerja seharian (saking fleksibelnya waktu sekarang ini, apapun itu kerjaannya, bisa diberikan kapan saja) karena memang tidak terbatas waktu kalau online.
- Ibadah harus dilaksanakan secara online (ini bagian yang sempat membuatku menangis pada awal Maret-April, acara besar Paskah diadakan online benar-benar membuat hatiku tertekan karena biasanya merayakan di Gereja)
Preparation for New Lifestyle
Menjalani 5 bulan di rumah bukanlah tantangan yang mudah. Hati benar-benar ingin sekali berada di luar rumah (dulu anak rumahan, sekarang malah pengen keluar ketemu orang lain gitu). Ingin berenang, menonton bioskop, jalan-jalan ke tempat wisata, dan sebagainya. Itulah keinginan-keinginan yang harus ditahan hingga masa pandemi ini berakhir.
Disini, aku punya persiapan-persiapan yang membantuku mengubah pola hidupku menjadi sesuatu yang baru.
- Makan selalu tepat waktu (pagi, siang, malam)
- Membuat schedule di pagi hari tentang apa saja yang akan kulakukan pada hari ini.
- Mengisi kegiatan kosong dengan berbagai kegiatan (bisa project pribadi, tugas-tugas perkuliahan, belajar secara mandiri, berolahraga, dan sebagainya)
- Menghasilkan sesuatu yang membuatku merasa produktif (membuat blog ini, pencatatan pribadi, to-do list, achievement perkuliahan, project pribadi, dan sebagainya)
- Kuota internet yang memadai
- Video game yang menghibur aku ketika bosan atau stress
- Teman-teman peer group yang jadi tempat aku bercocot-cocot (ngomong-ngomong di grup)
Penutup
Inilah akhir dari ceritaku dan tulisan yang kubuat. Ntah mengapa, aku benar-benar terdorong untuk menulis ini secara tiba-tiba di tengah perkuliahanku yang sudah mulai. Semua kata-kata disini terlintas begitu saja tanpa kupikirkan. Dan semuanya tertuliskan dengan lancar. Apa mungkin ini menjadi dokumentasi penting dalam hidupku dalam 5-10 tahun ke depan nanti? Who knows. Only God knows. Tapi ku percaya bahwa tulisan ini memang jadi part of my life yang begitu penting dalam hidupku.
Fun fact: Tulisan ini dibuat dalam waktu 55 menit
Tulisan ini dirancang bukan untuk memberikan insight atau saran-saran baru. Namanya juga tulisan. Tulisan ini memang kubuat untuk mengeluarkan uneg-uneg yang kurasakan selama ini. Semoga dapat bermanfaat dan para pembaca bisa turut terhibur!
Jakarta, 27 Agustus 2020
Michael Hans
Mahasiswa biasa